Tuesday, December 13, 2011

KISAH NABI YA'QUB A.S


Kisah Nabi Ya’qub tidak terdapat didalam Al-Qur’an secara tersendiri. Namun nama Nabi Ya’qub disebut didalam hubungannya dengan Nabi Ibrahim, Ishak, dan Yusuf dan lain-lain. Kisah ini bersumber dari kitab-kitab tafsir dan buku sejarah.
Ahlul kitab menyebutkan bahwa ketika Ishak menikahi Rifqa binti Bitawayil, Ishak berusia 40 tahun. Ketika itu ayahnya, Ibrahim, masih hidup. Rifqa adalah seorang wanita mandul, lalu Ishak berdoa kepada Allah hingga akhirnya ia pun hamil. Maka lahirlah darinya dua orang anak laki-laki. Yang pertama bernama Aishu (oleh bangsa arab disebut Al Aish). Ia adalah nenek moyang bangsa Romawi. Sedangkan yang kedua bernama Ya’qub, yang merupakan nenek moyang Bani Israil.
Ahlul kitab menyebutkan bahwa Ishak lebih menyukai Aishu dibanding Ya’qub. Sedangkan Rifqa lebih menyukai Ya’qub
Saat Ishak berusia lanjut dan pandangannya sudah memudar, ia meminta makanan kepada puteranya, Al Aish. Ishak menyuruhnya pergi berburu. Lalu Al Aish pun berangkat dan pulang dengan membawa hasil buruan. Selanjutnya ia memasakannya untuknya agar ayahnya mau mendoakannya. Pada saat itu, Rifqa pun menyuruh Ya’qub untuk menyembelih dua ekor anak kambing yang paling muda dan paling bagus, lalu memasaknya. Kemudian Ya’qub datang dengan membawa masakannya itu lebih awal daripada saudaranya, dengan maksud agar ayahnya mau mendoakannya. Ibunya memakaikan kepada Ya’qub pakaian saudaranya, Al Aish.
Ketika Ya’qub sampai ditempat ayahnya, ia menghidangkan makanan itu kepada Ishak. Kemudian Ishak bertanya, “Siapa kamu ini?” “Aku puteramu,” sahut Ya’qub. Selanjutnya Ishak mendekap Ya’qub seraya berucap, “Suara ini adalah suara Ya’qub, sedangkan kulit dan pakaiannya milik Al Aish.”
Dan setelah selesai memakan, Ishak pun mendoakannya agar mempunyai kemampuan lebih besar daripada saudara-saudaranya, kalimatnya menjadi lebih tinggi atas mereka dan bangsa-bangsa setelahnya, serta agar senantiasa diberi rezki yang melimpah dan anak yang banyak.
Setelah pergi dari sisi ayahnya, saudaranya, Al Aish datang dengan membawa apa yang diperintahkan ayahnya, lalu ia mendekatkan kepadanya. Maka ayahnya itu berkata kepadanya, “Hai anakku, apa ini?” “Ini adalah makanan yang engkau inginkan,” jawab Al Aish. Maka Ishak pun berkata, “Bukankah tadi engkau sudah membawakan makanan itu kepadaku dan sudah aku makan, dan aku pun telah mendoakanmu?” Maka Al Aish menjawab, “Demi Allah, tidak.”
Akhirnya ia mengetahui bahwa saudaranya, Ya’qub telah mendahuluinya. Maka marahlah ia dan ia berjanji akan membunuh saudaranya tersebut jika kedua orangtuanya telah meninggal dunia. Dan ia meminta ayahnya agar mendoakannya dengan doa yang lain lagi serta memohon agar anak keturunannya besar lagi kuat, dan supaya diberi rezki yang melimpah.
Ketika mendengar janji Al Aish itu, ibunya langsung memanggil Ya’qub dan menyuruhnya agar pergi menemui saudara ibunya yang bernama Laaban. Laaban bertempat tinggal di Huran, Irak. Ibunya menyarankan agar Ya’qub tetap tinggal bersama keluarga Laaban hingga emosi Al Aish mereda. Selain itu, ibunya juga menyarankan agar menikah dengan puteri dari saudaranya, Laaban. Kemudian ibunya berkata kepada suaminya, Ishak agar menyuruh Ya’qub melakukan hal tersebut serta mendoakannya. Maka Ishak pun memenuhi permintaan isterinya itu.
Sejak hari tersebut, Ya’qub ‘alaihissalam pergi meninggalkan mereka menuju Irak. Setelah Ya’qub A.S pergi dari kampung halamannya seperti telah dijelaskan sebelumnya, Maka Ya’qub pun memulai perjalanannya menuju Huran, Irak.
Pada sore hari itu ia sampai di suatu tempat. Kemudian ia mengambil sebuah batu dan meletakkannya di bawah kepalanya dan kemudian tidur di sana. Dalam tidurnya itu ia bermimpi melihat mi’raj yang menjulur dari langit menuju ke bumi, ternyata ia menyaksikan para malaikat sedang menaiki dan menuruni mi’raj tersebut. Dan Allah berbicara dengannya seraya berucap, “Sesungguhnya Aku akan berkahi kamu dan memperbanyak keturunanmu serta Aku jadikan bumi ini untukmu dan untuk anak keturunanmu yang hidup setelahmu.”
Ketika bangun, Ya’qub merasa gembira dengan mimpi yang dialaminya. Kemudian ia bernazar kepada Allah Azza wa Jalla. Jika ia pulang kepada keluarganya dalam keadaan selamat, maka ia akan membangun di tempat ini sebuah tempat untuk menyembah Allah. Selain itu Ya’qub juga bernazar bahwa seluruh rezki yang dikaruniakan kepadanya, maka sepersepuluhnya adalah untuk Allah S.W.T.
Kemudian ia bertolak menuju batu tersebut dan menandainya dengan olesan minyak supaya dapat dikenali. Ia menamai tempat itu Baitu Eil atau Baitullah. Dan tempat itulah yang sekarang disebut baitul Maqdis yang dibangun oleh Ya’qub. Sebagaimana hal itu akan diuraikan lebih lanjut pada pembahasan berikutnya.

Ketika sampai di tempat pamannya di Huran, Ya’qub mengetahui bahwa pamannya ternyata mempunyai dua orang anak perempuan. Yang tertua bernama Layya dan yang termuda bernama Rahil. Rahil mempunyai wajah lebih cantik daripada Layya. Kemudian Ya’qub maju untuk menikahi Rahil, dan pamannya pun mengiyakan dengan syarat Ya’qub harus mau menggembala kambingnya selama tujuh tahun.

Setelah beberapa saat berlalu dari kehidupannya bersama pamannya, Laaban, Ya’qub membuat makanan, lalu mengumpulkan orang-orang untuk makan bersama. Pada suatu malam, ia didatangi oleh puteri pamannya yang tertua, Layya. Ketika bangun pada pagi harinya, Ya’qub mendapatkan Layya bersamanya. Maka ia pun berkata kepada pamannya, Laaban: “Engkau telah menipuku. Sesungguhnya engkau telah memberikan Rahil untuk aku nikahi.” Lalu pamannya berkata kepadanya, “Bukan kebiasaan kami untuk menikahkan anak perempuan yang lebih muda sebelum kakaknya menikah. Karenanya, jika engkau mencinati saudaranya, Rahil, maka bekerjalah tujuh tahun lagi, maka aku akan menikahkanmu dengan Rahil.”
Maka Ya’qub pun mau bekerja bersama pamannya itu selama tujuh tahun. Lalu pamannya mempertemukan Rahil dengan Ya’qub bersama saudaranya juga, Layya. Dan hal itu boleh dilakukan dalam agama mereka pada saat itu, lalu hal itu dihapuskan dalam syari’at Taurat. Hal itu saja sudah cukup untuk menjadi dalil penghapusan, karena perbuatan Ya’qub ‘alaihissalam menunjukkan diperbolehkannya yang demikian itu, sedang Ya’qub adalah seorang yang terpelihara dari perbuatan dosa.

Setelah tujuh tahun bersama Layya, maka Laaban pun menikahkan Rahil kepada Ya’qub A.S. Selanjutnya, Laaban memberikan kepada masing-masing puterinya tersebut seorang budak perempuan. Kepada Layya diberikan budak yang bernama Zulfa, sedangkan kepada Rahil diberikan budak yang bernama Balha.
Dengan kelemahan yang ada pada Layya, justru Allah mengkaruniakan kepadanya beberapa orang anak laki-laki, yaitu: Rubail, Syam’un, Lawa, dan kemudian Yahudza. Keadaan itu menjadikan Rahil cemburu, karena ia tidak kunjung hamil. Lalu Rahil menyerahkan budaknya, Balha kepada Ya’qub, lalu Ya’qub mencampurinya sehingga Balha pun hamil. Maka lahirlah dari budak tersebut seorang anak laki-laki yang lain yang diberi nama Naftali. Ketika itu, Layya pun menyerahkan budaknya, Zulfa kepada Ya’qub ‘alaihissalam, dan dari Zulfa ini lahirlah dua orang anak laki-laki, yaitu Jaad dan Asyir
Setelah itu Layya pun kembali hamil. Maka lahirlah anak laki-laki yang kelima dari Layya yang diberi nama Yasakhir. Kemudian Layya kembali hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Zabilun. Lalu anak terakhir dari Layya adalah seorang perempuan yang diberi nama Dina. Dengan demikian, dari pernikahan Ya’qub A.S dengan Layya, beliau dikaruniai tujuh orang anak.

Kemudian Rahil berdoa dengan memohon kepada Allah supaya dikaruniai anak laki-laki dari suaminya, Ya’qub. Maka Allah pun mendengar dan mengabulkan permohonannya. Lalu Rahil pun hamil sehingga lahirlah seorang anak laki-laki yang agung, mulia lagi tampan, yang diberi nama Yusuf

Dari Rahil juga Ya’qub memiliki anak yang bernama Benyamin. Pada saat itu, mereka tinggal di negeri Huran, Irak. Ya’qub bekerja menggembalakan kambing pamannya, Laaban selama 20 tahun.
Suatu hari, Ya’qub memohon suatu hal kepada pamannya. Laaban berkata: “Sesungguhnya aku telah diberi karunia yang melimpah karenamu, maka mintalah harta kepadaku sesuka hatimu.” Maka Ya’qub menjawab, “Berikan kepadaku setiap anak kambingmu yang dilahirkan tahun ini: yang berwarna belang, juga setiap kambing yang berwarna hitam bercampur putih, serta anak kambing yang tidak bertanduk dan berwarna putih.” Pamannya menjawab, “Baik, akan kuberikan semua itu kepadamu.”
Lebih lanjut Ya’qub mengambil potongan dahan pohon lauz (badam) yang masih basah dan berwarna putih, lalu mengupas kulitnya dengan warna hitam bercampur putih dan menaruhnya di tempat minumnya, supaya dengan demikian itu kambing itu melihatnya dan merasa takut karenanya sehingga anak yang berada di perutnya bergerak-gerak, lalu warna anak kambing tersebut ketika lahir akan berwarna seperti warna dahan kayu tersebut.
Dan yang demikian itu merupakan sesuatu yang diluar kebiasaan dan termasuk mukjizat. Akhirnya Ya’qub mempunyai kambing yang sangat banyak dan hewan-hewan lainnya. Keluarga Laaban pun sangat kagum dengan hal itu.



Setelah puluhan tahun tinggal bersama keluarga Laaban, Ya’qub A.S menerima wahyu Allah Azza wa Jalla supaya pulang kembali ke negeri ayahnya, Ishak, dan juga kaumnya. Allah menjanjikan akan menyatukannya dengan ayahnya. Lalu Ya’qub menjelaskan hal itu kepada Laaban, dan mereka pun mentaatinya. Laaban menitipkan kedua puterinya dan juga cucunya kepada Ya’qub. Maka perjalanan Ya’qub kembali ke negeri ayanya pun dimulai
Ditengah perjalanan, Ya’qub disambut oleh para malaikat yang menyampaikan kabar gembira kepadanya. Lalu Ya’qub mengirim utusan kepada saudaranya, Al Aish untuk menyampaikan kepadanya secara lemah lembut dan penuh kerendahan hati. Lalu utusan itu pulang dan menyampaikan kepada Ya’qub bahwa Al Aish telah berangkat dengan 400 orang menuju kepadanya.
Maka Ya’qub pun merasa benar-benar takut akan hal itu. Lalu ia berdoa memohon kepada Allah dan bertasbih kepada-Nya. Ia memohon agar dilindungi dari kejahatan saudaranya, Al Aish. Ia telah mempersiapkan hadiah besar untuk saudaranya itu, yaitu berupa 200 ekor kibas, 20 ekor kambing jantan, 100 ekor kambing betina, 20 ekor biri-biri, 30 ekor unta perahan, 40 ekor sapi betina, 20 ekor sapi jantan, 20 ekor keledai betina, dan 10 ekor keledai jantan. Kemudian Ya’qub menyuruh beberapa budaknya untuk menggiring masing-masing jenis hewan. Ya’qub menyuruhnya agar antara masing-masing jenis diberikan jarak. Ia berpesan, jika bertemu dengan Al Aish, lalu bertanya: “Milik siapa semua ini?” Maka mereka harus menjawab : “Milik hambamu, Ya’qub. Ia menghadiahkan semua ini untuk tuanku, Al Aish.” Untuk selanjutnya berkata: “Ia (Ya’qub) akan datang setelah kami.”

Ya’qub tertinggal oleh dua isteri dan dua budak mereka dan kesebelas puteranya dengan jarak dua malam. Ia melakukan perjalanan pada malam hari dan bersembunyi pada siang harinya. Pada waktu fajar hari kedua tiba, muncullah malaikat di hadapan Ya’qub yang berwujud seorang laki-laki. Ya’qub menduga ia adalah manusia biasa, lalu ia mendatangi orang itu untuk menyerang dan mengalahkannya. Namun malaikat itu berbalik menyerang bagian pahanya sehingga Ya’qub terlihat pincang. Setelah sinar pagi muncul, malaikat itu bertanya kepadanya, “Siapa namamu?”

“Ya’qub,” jawabnya.
Lalu malaikat itu berkata, “Setelah hari ini, kamu tidak dipanggil kecuali dengan nama Israil.”
Maka Ya’qub bertanya, “Siapakah engkau ini sebenarnya, dan siapa pula namamu?”
Lalu malaikat itu pergi meninggalkannya dan Ya’qub pun mengetahui bahwa ia adalah malaikat. Maka kaki Ya’qub pun menjadi pincang.
Kemudian Ya’qub melihat saudaranya Al Aish telah datang bersama 400 orang dan Ya’qub pun langsung bersujud kepadanya. Bersujud pada masa itu merupakan salah satu bentuk penghormatan, yaitu sama seperti sujudnya para malaikat kepada Adam.
Melihat hal tersebut, luluhlah hati Al Aish dan ia langsung memeluk dan mencium Ya’qub sambil menangis. Lalu Al Aish melihat beberapa wanita dan juga anak-anak seraya bertanya, “Dari mana engkau mendapatkan mereka ini?”
Ya’qub menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang telah dianugerahkan Allah kepada hambamu ini.” Lalu merekapun semua bersujud kepadanya. Kemudian Al Aish pulang menuju ke bukit Sa’id, diikuti oleh Ya’qub beserta keluarganya, binatang ternak serta budak-budaknya.
Ketika melewati Sakhur, Ya’qub membangun sebuah rumah untuknya sebagai tempat berteduh. Kemudian melewati Ursyalim, kampung Sakhim. Disana ia membeli sebidang tanah dengan harga 100 ekor kambing betina. Kemudian Allah menyuruh Ya’qub mendirikan tempat itu untuk berdakwah disana. Dan sekarang tempat itu lebih dikenal dengan Baitul Maqdis, yang dulu pernah direnovasi oleh Sulaiman A.S. Itulah tempat batu yang dulu pernah ditandai Ya’qub A.S dengan olesan minyak
Akhirnya Ya’qub berhasil mendatangi ayahnya, Ishak, lalu ia menetap bersamanya di desa Habrun yang terletak di daerah Kan’an tempat Ibrahim A.S dulu tinggal. Tidak lama kemudian, Ishak jatuh sakit dan meninggal pada usia 180 tahun. Ishak dimakamkan oleh kedua puteranya Al Aish dan Ya’qub berdampingan dengan ayahnya, Ibrahim


No comments: